KOMPAS.com - Kerja sama antara Pemerintah Norwegia dan Indonesia di bidang lingkungan baru-baru ini dinilai berhasil. Kerja sama tersebut merupakan program REDD+ (Reduction of Emissions from Deforestation and Forest Degradation). Oleh karena keberhasilannya itu, Pemerintah Norwegia akan membayar hasil kerja penurunan emisi karbon dioksida yang berhasil dilakukan Indonesia.
Dilansir Kompas.com, Senin (6/7/2020), jumlah penurunan emisi yang berhasil dicapai Indonesia pada 2016-2017 adalah 11,2 juta ton CO2eq. Sementara harga pasar karbon dunia saat ini sebesar 5 dollar AS (setara Rp 72.617) per ton. Dengan demikian, nilai yang akan dibayarkan kepada pemerintah Indonesia sebesar 56 juta dollar AS atau setara dengan Rp 813,3 miliar.
Benarkah emisi karbon di Indonesia turun? Chairman UI GreenMetric Prof Riri Fitri Sari mengungkapkan dirinya sempat ragu saat mendengar program REDD+ akan diluncurkan pada awal 2010 silam. Dirinya khawatir semangat pemerintah dalam "jual-beli" emisi karbon hanya di awal saja. Akan tetapi mengetahui ada penurunan emisi di 2016-2017 pihaknya merasa ikut senang. "Kalau akhirnya memang akan dibayarkan, kita cukup surprise bahwa ini bukan hanya janji semata. Berarti Norwegia benar-benar walk the talk dengan program yang diberkelanjutan selama 10 tahun terakhir," ujarnya pada Kompas.com, baru-baru ini.
Mempertahankan hutan
Kebakaran hutan Cagar Alam Papandayan, Minggu (6/10/2019) (KOMPAS.COM/ARI MAULANA KARANG)
Riri menjelaskan, program itu berkaitan dengan hubungan diplomatik antara kedua negara yang baik. Itu ditandai dengan 10 tahun kemitraan dalam kerangka kerja sama REDD+, dan terbukti 2016-2017 dianggap berhasil baik menurunkan emisi. Dia menjelaskan, dalam hal ini perhitungan bukan tentang pengurangan emisi atau polusi di kota-kota besar. Tapi mempertahankan hutan sebagai paru-paru dunia penyerap karbon.
Lanjutnya, sesuai judul program, yang dihitung penurunan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan dengan hilangnya lahan gambut. "Artinya dalam kurun 2016-2017 deforestasi dan degradasi hutan serta lahan gambut tidak banyak terjadi. Tentunya perhitungan masih terbatas pada wilayah percontohan yang diikutsertakan saja," ujar guru besar UI itu. Lanjutnya, mengurangi emisi tersebut dapat dengan dibatasinya penebangan liar, pembakaran, alih fungsi lahan, kebakaran lahan gambut, dan sebagainya.
Dihubungi terpisah, Wakil ketua dari UI GreenMetric Dr Nyoman Suwartha menambahkan, perlu terus dipastikan bahwa tidak ada lagi penebangan liar atau pembakaran, terutama di daerah yang sudah menjadi wilayah percontohan. Menurutnya, program itu perlu dikembangkan ke wilayah lain. "Tentunya emisi dari sektor lain seperti transportasi, energi, persampahan, industri, dan lainnya tetap harus dijaga sesuai target penurunan kurang lebih 20 persen yang dicanangkan pemerintah, dengan usaha sendiri," katanya kepada Kompas.com, Kamis (9/7/2020).
Penulis : Nur Fitriatus Shalihah
Editor : Sari Hardiyanto